Penjara Penyesalan
Oleh : Intan Ratna Sari
Terik matahari begitu menyengat
kulit. Rena berjalan menuju rumahnya. Dengan langkah tertatih dia melangkah.
Wajahnya nampak pucat. Matanya nampak sayu. Sudah beberapa hari ini dia nampak
kurang sehat. Seperti ada yang dipikirkan.
Sesampainya di rumah, Rena langsung
menuju kamar mungilnya. Kamar yang selalu menjadi tempat persinggahanya saat
merasa lelah. Kamar yang merupakan surga kecil. Tempat indah untuk
menghilangkan sejenak kesibukan di luar. Namun saat ini kamar itu berubah
layaknya gudang. Banyak lembaran-lembaran kertas berserakan di lantai. Tumpahan
tinta hitam menodai lantai. Surga kecil tersebut dalam sekejap berubah menjadi
neraka baginya.
Rena mengeluarkan laptop dari tas
dan dinyalakan. Dengan tatapan tajam dia menatap layar laptop. Dia menekan
tombol keyboard dan mencoba mengetik beberapa kata. Namun dihapus
kembali. Sejenak dia termenung dan berfikir. Dia mengambil lembaran kertas dengan
jilidan rapi dari dalam tas. Ditatapnya dengan mata sendu. Tiba-tiba air mata
menetes dipipinya. Dia teringat kejadian di kampus.
***
Dengan pakaian yang sangat rapi Rena
mencoba untuk menemui dosen pembimbingnya. Lembaran kertas yang dijilid rapi
didekapannya. Awalnya dia merasa ragu untuk menemui dosen pembimbingnya itu.
Namun teman-temannya mencoba memaksanya untuk masuk ke dalam kantor dosen.
Dengan penuh keyakinan ia mencoba masuk.
Tok tok tok.Rena mengetuk pintu.
“Masuk.”terdengar suara lantang dari
dalam mempersilahkan Rena untuk masuk.
Dengan pelan ia membuka pintu. Suara
tadi ialah suara dosen pembimbing skripsi Rena. Namanya Pak Totok. Beliau
dikenal oleh mahasiswanya sebagai dosen yang killer dan sangat
perhitungan dalam memberi nilai. Beliau juga terkenal sebagai dosen dengan
komentar yang sangat pedas. Namun hal ini beliau lakukan demi kebaikan
mahasiswanya.
Kaki Rena sedikit bergetar. Dengan
wajah sedikit tertunduk ia menghadap dosen.
“Ada keperluan apa?”tanya Pak Totok
dengan nada yang sedikit sinis.
“Saya ingin mengajukan revisi skripsi
yang kemarin, Pak.”jawab Rena sambil menyerahkan jilidan skripsinya.
Lembar demi lembar skripsi dibaca
oleh Pak Totok. Matanya menyorot tajam pada setiap susunan kata dalam skripsi.
Rena yang melihat Pak Totok membaca skripsinya merasa takut. Jantungnya
berdebar dengan keras. Dia kembali tertunduk.
Plak. Suara tersebut sentak membuat Rena
kaget.
“Sudah berulang kali saya ingatkan,
skripsi seperti ini tidak layak diuji. Skripsi seperti ini anak TKpun bisa
membuatnya. Apa pantas kamu lulus dan mendapat gelar sarjana jika hasil
tulisanmu seperti ini. Apa hasil kuliahmu selama bertahun-tahun hanya menulis
sampah seperti ini.”kata Pak Totok dengan suara lantang dan mata melotot.
“I..iya, Pak.”jawab Rena dengan
sedikit gugup dan tertunduk.
“Sudah tiga kali ini kamu mengajukan
skripsi seperti ini namun tidak ada perkembangan sama sekali. Mau jadi apa kamu
ini.”kata Pak Totok.
Rena yang sejak tadi dimarahi Pak
Totok hanya bisa tertunduk dan diam. Keringat mengucur di keningnya. Tangannya
dingin.
“Saya beri satu kesempatan lagi
untuk kamu. Tapi, jika hasilnya tetap seperti ini silahkan cari dosen
pembimbing yang lain. Saya tidak mau membimbing mahasiswa yang tidak maju
seperti kamu ini.”kata Pak Totok memperingatkan Rena.
“Iya, Pak terimakasih. Saya akan
perbaiki lagi.”jawab Rena dengan nada lirih.
“Saya permisi dulu, Pak.”sambung
Rena dan berpamitan dengan Pak Totok.
“Iya, silahkan.”Jawab Pak Totok.
Dengan wajah murung Rena keluar dari
ruangan dosen. Jilidan skripsi dipegang ditangan.
***
Rena yang sejak tadi di kamar hanya
bisa menangis. Sejak tadi ia hanya bisa memandang skripsinya itu. Sejenak ia
teringat kata-kata Pak Totok. Dan tangisnya semakin pecah.
“Aku bodoh, aku tak layak jadi
sarjana.”gumam Rena dengan nada lirih. Kata-kata itu sejak tadi diulang terus.
Rena terus menangis dan tertunduk di
pojok kamarnya. Semakin lama tubuh Rena lemas dan tangisnya pun hilang.
***
Tok tok tok. “Rena, ayo makan
dulu.”teriak ibu Rena dibalik pintu.
“Rena, makan dulu.”sambung Ibu Rena.
Ibu Rena yang sejak tadi memanggil
nama Rena tidak mendapat jawaban. Ibu merasa curiga dan mencoba masuk kedalam
kamar.
“Astagfirullahaladzim, Rena.”teriak
Ibu.
Ibu terkejut melihat anaknya
tergeletak lemas di lantai. Dengan cekatan Ibu mengangkat anaknya ke atas
tempat tidur dan menyelimutinya.
Ibu kelluar dan mengambil air untuk
kompres dan the hangat di dapur.
***
Semilir angin berhembus menyentuh
kulit dengan begitu lembut. Suara kicau burung mengalun dngan begitu merdu.
Gemericik air menambah keindahan suasana tersebut.
Rena yang sejak terbangun. Ia
tekejut melihat keindahan yang begitu luar biasa.
“Dimana aku?”gumam Rena dalam hati.
Rena berjalan menikmati keindahan
yang telah tercipta. Dipandangnya secara detail setiap keindahan yang ada.
Tiba-tiba angin berhembus begitu kencang. Daun-daun bertebaran dimana-mana. Debu
tebal mengepul menggerus keindahan yang tercipta. Dalam sekejap semuanya
menjadi gelap. Tidak ada cahaya sedikitpun. Rena merasa takut dan mencoba
mencari titik cahaya. Rena terus berjalan, namun belum menemukan cahaya. Ia
mendengar suara seseorang yang begitu lirih. Ia mencoba mencari sumber suara
itu. Suara itu semakin lama menjadi sangat keras dan memekakan telinga. Suara
itu mirip dengan suara Pak Totok.
“Kamu tidak pantas jadi sarjana,
skripsimu seperti sampah.”suara tersebut berulang kali terdengar dan semakin
keras.
Rena yang mendengar suara itu
semakin ketakutan. Iapun berlari, namun suara itu terus terdengar. Suara itu
tiba-tiba menghilang. Rena pun menghentikan langkahnya. Ia terduduk lemas dan
menangis tersedu-sedu.
Sejenak semua menjadi hening. Tak
ada sedikit suara yang terdengar. Dalam keheningan ia melihat titik cahaya
merah. Ia berjalan dan berusaha mendekatinya. Namun betapa terkejutnya saat
Rena telah dekat dengan cahaya tersebut. Cahaya tersebut adalah api yang
membakar setumpuk kertas dan laptopnya. Api itu semakin membesar dan membuat
Rena semakin takut. Tiba-tiba angin berhembus dengan begitu kencang dan
memadamkan api. Rena melihat lembaran kertas berterbangan dengan membentuk
putting beliung yang sangat besar. Putting beliung tersebut semakin mendekati
Rena. Ia berusaha bangkit dan berlari. Semakin ia berlari, kakinya semakin
lemas. Tiba-tiba ia terjatuh. Dan angin itu semakin mendekat, Rena pun tak
kuasa untuk bangkit lagi.
***
“Aaaaaarrrghhhhhhh.”teriak Rena dan
terbangun.
Teriakan Rena terdengar hingga ke
dapur. Ibu yang mendengar suara itu langsung menuju kamar Rena.
Rena menangis tersedu-sedu. Ibu yang
melihat anaknya seperti itu langsung memeluk Rena.
“Rena takut, Bu.”kata Rena sambil menangis
dipelukan Ibunya.
“Tenang, Nak. Ada Ibu disini.”kata
Ibu sambil membelai lembut rambut Rena.
“Ada apa, Nak?. Cerita sama
ibu.”sambung Ibu dengan sabar ambil menghapus air mata Rena.
“Bu, Rena ini bodoh.”kata Rena.
“Kenapa kamu bicara seperti itu?”tanya
Ibu.
“Sudah 3 kali Rena membuat skripsi
tapi gagal terus, Bu. Padahal Rena sudah bekerja keras untuk membuatnya tapi
tetap saja gagal.”kata Rena dan sedikit meneteskan air mata.
“Rena, apa yang kamu lakukan selama
ini sudah benar. Kamu tidak bodoh Cuma belum maksimal mengerjakan skripsimu.
Kamu belum bisa mengatur waktumu dengan baik. Selama ini kamu mem-forsir
tenagamu hanya untuk mengerjakan skripsi tanpa ada waktu istirahat.”kata Ibu
menasehati Rena.
“Apa yang harus Rena lakukan?”
“Kamu Cuma butuh istirahat, Nak.
Agar kamu tidak lelah dan pikiranmu menjadi segar lagi. Besok kita berangkat ke
puncak menginap disana selama beberapa hari. Disana kamu bisa bersantai
sejenak.”saran Ibu.
“Iya, Bu.”jawab Rena.
“Kamu belum makan kan?”tanya Ibu.
“Belum, Bu.”jawab Rena sambil
tersenyum.
“Sebentar Ibu ambilkan makanan di
dapur. Hari ini ibu masak makanan kesukaanmu Sop Jamur. Kamu mau kan?”Kata Ibu.
“Iya, Bu.”jawab Rena sambil
tersenyum manis kepada Ibunya.
Ibu berlalu meninggalkan Rena dan
mengambilkan makanan untuk Rena.
Kok apik novel e hehe
BalasHapus