Minggu, 12 April 2015

Cerpenku



Penjara Penyesalan




 Oleh : Intan Ratna Sari
Terik matahari begitu menyengat kulit. Rena berjalan menuju rumahnya. Dengan langkah tertatih dia melangkah. Wajahnya nampak pucat. Matanya nampak sayu. Sudah beberapa hari ini dia nampak kurang sehat. Seperti ada yang dipikirkan.
Sesampainya di rumah, Rena langsung menuju kamar mungilnya. Kamar yang selalu menjadi tempat persinggahanya saat merasa lelah. Kamar yang merupakan surga kecil. Tempat indah untuk menghilangkan sejenak kesibukan di luar. Namun saat ini kamar itu berubah layaknya gudang. Banyak lembaran-lembaran kertas berserakan di lantai. Tumpahan tinta hitam menodai lantai. Surga kecil tersebut dalam sekejap berubah menjadi neraka baginya.




Rena mengeluarkan laptop dari tas dan dinyalakan. Dengan tatapan tajam dia menatap layar laptop. Dia menekan tombol keyboard dan mencoba mengetik beberapa kata. Namun dihapus kembali. Sejenak dia termenung dan berfikir. Dia mengambil lembaran kertas dengan jilidan rapi dari dalam tas. Ditatapnya dengan mata sendu. Tiba-tiba air mata menetes dipipinya. Dia teringat kejadian di kampus.
***
Dengan pakaian yang sangat rapi Rena mencoba untuk menemui dosen pembimbingnya. Lembaran kertas yang dijilid rapi didekapannya. Awalnya dia merasa ragu untuk menemui dosen pembimbingnya itu. Namun teman-temannya mencoba memaksanya untuk masuk ke dalam kantor dosen. Dengan penuh keyakinan ia mencoba masuk.
Tok tok tok.Rena mengetuk pintu.
“Masuk.”terdengar suara lantang dari dalam mempersilahkan Rena untuk masuk.
Dengan pelan ia membuka pintu. Suara tadi ialah suara dosen pembimbing skripsi Rena. Namanya Pak Totok. Beliau dikenal oleh mahasiswanya sebagai dosen yang killer dan sangat perhitungan dalam memberi nilai. Beliau juga terkenal sebagai dosen dengan komentar yang sangat pedas. Namun hal ini beliau lakukan demi kebaikan mahasiswanya.
Kaki Rena sedikit bergetar. Dengan wajah sedikit tertunduk ia menghadap dosen.
“Ada keperluan apa?”tanya Pak Totok dengan nada yang sedikit sinis.
“Saya ingin mengajukan revisi skripsi yang kemarin, Pak.”jawab Rena sambil menyerahkan jilidan skripsinya.
Lembar demi lembar skripsi dibaca oleh Pak Totok. Matanya menyorot tajam pada setiap susunan kata dalam skripsi. Rena yang melihat Pak Totok membaca skripsinya merasa takut. Jantungnya berdebar dengan keras. Dia kembali tertunduk.
Plak. Suara tersebut sentak membuat Rena kaget.
“Sudah berulang kali saya ingatkan, skripsi seperti ini tidak layak diuji. Skripsi seperti ini anak TKpun bisa membuatnya. Apa pantas kamu lulus dan mendapat gelar sarjana jika hasil tulisanmu seperti ini. Apa hasil kuliahmu selama bertahun-tahun hanya menulis sampah seperti ini.”kata Pak Totok dengan suara lantang dan mata melotot.
“I..iya, Pak.”jawab Rena dengan sedikit gugup dan tertunduk.
“Sudah tiga kali ini kamu mengajukan skripsi seperti ini namun tidak ada perkembangan sama sekali. Mau jadi apa kamu ini.”kata Pak Totok.
Rena yang sejak tadi dimarahi Pak Totok hanya bisa tertunduk dan diam. Keringat mengucur di keningnya. Tangannya dingin.
“Saya beri satu kesempatan lagi untuk kamu. Tapi, jika hasilnya tetap seperti ini silahkan cari dosen pembimbing yang lain. Saya tidak mau membimbing mahasiswa yang tidak maju seperti kamu ini.”kata Pak Totok memperingatkan Rena.
“Iya, Pak terimakasih. Saya akan perbaiki lagi.”jawab Rena dengan nada lirih.
“Saya permisi dulu, Pak.”sambung Rena dan berpamitan dengan Pak Totok.
“Iya, silahkan.”Jawab Pak Totok.
Dengan wajah murung Rena keluar dari ruangan dosen. Jilidan skripsi dipegang ditangan.
***
Rena yang sejak tadi di kamar hanya bisa menangis. Sejak tadi ia hanya bisa memandang skripsinya itu. Sejenak ia teringat kata-kata Pak Totok. Dan tangisnya semakin pecah.
“Aku bodoh, aku tak layak jadi sarjana.”gumam Rena dengan nada lirih. Kata-kata itu sejak tadi diulang terus.
Rena terus menangis dan tertunduk di pojok kamarnya. Semakin lama tubuh Rena lemas dan tangisnya pun hilang.
***
Tok tok tok. “Rena, ayo makan dulu.”teriak ibu Rena dibalik pintu.
“Rena, makan dulu.”sambung Ibu Rena.
Ibu Rena yang sejak tadi memanggil nama Rena tidak mendapat jawaban. Ibu merasa curiga dan mencoba masuk kedalam kamar.
“Astagfirullahaladzim, Rena.”teriak Ibu.
Ibu terkejut melihat anaknya tergeletak lemas di lantai. Dengan cekatan Ibu mengangkat anaknya ke atas tempat tidur dan menyelimutinya.
Ibu kelluar dan mengambil air untuk kompres dan the hangat di dapur.
***
Semilir angin berhembus menyentuh kulit dengan begitu lembut. Suara kicau burung mengalun dngan begitu merdu. Gemericik air menambah keindahan suasana tersebut.
Rena yang sejak terbangun. Ia tekejut melihat keindahan yang begitu luar biasa.
“Dimana aku?”gumam Rena dalam hati.
Rena berjalan menikmati keindahan yang telah tercipta. Dipandangnya secara detail setiap keindahan yang ada. Tiba-tiba angin berhembus begitu kencang. Daun-daun bertebaran dimana-mana. Debu tebal mengepul menggerus keindahan yang tercipta. Dalam sekejap semuanya menjadi gelap. Tidak ada cahaya sedikitpun. Rena merasa takut dan mencoba mencari titik cahaya. Rena terus berjalan, namun belum menemukan cahaya. Ia mendengar suara seseorang yang begitu lirih. Ia mencoba mencari sumber suara itu. Suara itu semakin lama menjadi sangat keras dan memekakan telinga. Suara itu mirip dengan suara Pak Totok.
“Kamu tidak pantas jadi sarjana, skripsimu seperti sampah.”suara tersebut berulang kali terdengar dan semakin keras.
Rena yang mendengar suara itu semakin ketakutan. Iapun berlari, namun suara itu terus terdengar. Suara itu tiba-tiba menghilang. Rena pun menghentikan langkahnya. Ia terduduk lemas dan menangis tersedu-sedu.
Sejenak semua menjadi hening. Tak ada sedikit suara yang terdengar. Dalam keheningan ia melihat titik cahaya merah. Ia berjalan dan berusaha mendekatinya. Namun betapa terkejutnya saat Rena telah dekat dengan cahaya tersebut. Cahaya tersebut adalah api yang membakar setumpuk kertas dan laptopnya. Api itu semakin membesar dan membuat Rena semakin takut. Tiba-tiba angin berhembus dengan begitu kencang dan memadamkan api. Rena melihat lembaran kertas berterbangan dengan membentuk putting beliung yang sangat besar. Putting beliung tersebut semakin mendekati Rena. Ia berusaha bangkit dan berlari. Semakin ia berlari, kakinya semakin lemas. Tiba-tiba ia terjatuh. Dan angin itu semakin mendekat, Rena pun tak kuasa untuk bangkit lagi.
***
“Aaaaaarrrghhhhhhh.”teriak Rena dan terbangun.
Teriakan Rena terdengar hingga ke dapur. Ibu yang mendengar suara itu langsung menuju kamar Rena.
Rena menangis tersedu-sedu. Ibu yang melihat anaknya seperti itu langsung memeluk Rena.
“Rena takut, Bu.”kata Rena sambil menangis dipelukan Ibunya.
“Tenang, Nak. Ada Ibu disini.”kata Ibu sambil membelai lembut rambut Rena.
“Ada apa, Nak?. Cerita sama ibu.”sambung Ibu dengan sabar ambil menghapus air mata Rena.
“Bu, Rena ini bodoh.”kata Rena.
“Kenapa kamu bicara seperti itu?”tanya Ibu.
“Sudah 3 kali Rena membuat skripsi tapi gagal terus, Bu. Padahal Rena sudah bekerja keras untuk membuatnya tapi tetap saja gagal.”kata Rena dan sedikit meneteskan air mata.
“Rena, apa yang kamu lakukan selama ini sudah benar. Kamu tidak bodoh Cuma belum maksimal mengerjakan skripsimu. Kamu belum bisa mengatur waktumu dengan baik. Selama ini kamu mem-forsir tenagamu hanya untuk mengerjakan skripsi tanpa ada waktu istirahat.”kata Ibu menasehati Rena.
“Apa yang harus Rena lakukan?”
“Kamu Cuma butuh istirahat, Nak. Agar kamu tidak lelah dan pikiranmu menjadi segar lagi. Besok kita berangkat ke puncak menginap disana selama beberapa hari. Disana kamu bisa bersantai sejenak.”saran Ibu.
“Iya, Bu.”jawab Rena.
“Kamu belum makan kan?”tanya Ibu.
“Belum, Bu.”jawab Rena sambil tersenyum.
“Sebentar Ibu ambilkan makanan di dapur. Hari ini ibu masak makanan kesukaanmu Sop Jamur. Kamu mau kan?”Kata Ibu.
“Iya, Bu.”jawab Rena sambil tersenyum manis kepada Ibunya.
Ibu berlalu meninggalkan Rena dan mengambilkan makanan untuk Rena.

1 komentar: